Sama seperti usus ternyata didalam hidung manusia juga bisa hidup satu tipe bakteri bernama Staphylococcus. Meski pada umumnya bakteri tersebut tidak berbahaya, namun jika jumlahnya tak terkendali juga bisa membahayakan jiwa.
Rachel McLoughlin, penulis studi dan dosen di School of Biochemistry and Immunology di Trinity College Dublin, melaporkan Tipe bakteri Staphylococcus atau Staph yang ditemukan pada kulit dan hidung adalah MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus) yang kebal terhadap antibiotik.
Para ilmuwan menyatakan bahwa bakteri Staphylococcus aureus hidup dan berkolonisasi di hidung sekitar 20 persen dari populasi yang menghuni sel-sel kulit. Bakteri ini sebenarnya tidak berbahaya jika dalam jumlah normal, tetapi jika berlebih bisa menyebabkan infeksi MRSA dan berakibat fatal.
Sehingga para ilmuwan telah merancang berbagai penelitian untuk menemukan cara mengendalikan jumlah bakteri tersebut dari hidung manusia. Jika bakteri ini menyebabkan MRSA pada seseorang, maka penularannya dapat menyebar dengan mudah melalui kontak kulit atau sentuhan terhadap barang yang telah terkontaminasi.
Baca juga: Tidak Selalu Dapat Sembuhkan Setiap Penyakit, Ini Alasan Dokter Kerap Memberi Resep Antibiotik
Infeksi MRSA sama seperti infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus lainnya, yang terlihat seperti infeksi kulit, jerawat, ruam, bisul atau gigitan laba-laba. Infeksi ini biasanya menyakitkan, merah dan bengkak dan dapat masuk ke dalam tubuh dengan cepat, hingga menimbulkan bengkak yang menyakitkan. Bakteri MRSA juga dapat menembus ke dalam tubuh dan berpotensi menyebabkan infeksi pada tulang, sendi, aliran darah, jantung dan paru-paru yang dapat menyebabkan kematian.Pada penelitian pertama menemukan bahwa posisi bakteri Staph menggantung pada loricrin, sebuah protein kulit. Tetapi sampai sekarang, peneliti belum tahu persis mengapa Staph menyukai area hidung manusia dan menjadikannya tempat tinggal.
“Kunci utama untuk mengendalikan MRSA terletak pada loricrin. Mengingat pengobatan terhadap infeksi MRSA sangatlah sulit, penemuan ini dapat dijadikan strategi terapi untuk mengobati infeksi," kata Rachel McLoughlin, penulis studi dan dosen di School of Biochemistry and Immunology di Trinity College Dublin seperti dilansir emaxhealth.